Rabu, 07 Februari 2018

Berdamai dengan masa lalu

Semua yang berhubungan dengannya di masa lalu, nyatanya masih saja menghantui pikiran. Aku sudah tidak tahu lagi kabarmu, dan kamu tahu rasanya masih saja sulit untuk tidak terpikir tentangmu. Sebab luka itu tak kunjung sembuh. Membuka hati untuk yang baru rasanya masih saja sulit, padahal ada yang sedang berusaha keras untuk bisa lebih dekat. Ini bukan tentang tak bisa melupakan atau tidak, tapi rasanya masih insecure untuk  bisa kenal lebih jauh dengan stranger yang baru bertemu dua kali.

Sore ini, entah mengapa rasanya aku ingin berlama-lama di kedai kopi. Memesan Frapuccino Matcha Latte kesukaanku dan menatap rintik hujan yang sedari tadi tak kunjung reda.
"Frey"
seseorang memanggil namaku, tapi aku pikir itu hanya perasaanku saja.
Sekali lagi, suara itu masih memanggil namaku
"Freya"
Aku harap ini hanya mimpi dan khayalanku yang masih terpikir tentangnya, tapi ia duduk persis di hadapanku. Wira. Terakhir kami bertemu saat ia memutuskan untuk memilih berlalu, setahun yang lalu.
"Kamu apa kabar? Aku pikir aku salah orang loh hehe" tanyanya
Aku yang masih terpaku dan masih belum sepenuhnya sadar akan kehadirannya kembali hanya menjawab sekadarnya.
"Baik" balasku meringis
"Akhirnya ketemu kamu juga Frey, aku kontek kamu gak pernah bisa"
"Iya handphone aku ilang waktu itu"
"Kok bisa? pasti lupa simpennya deh, kamu kebiasaan"
"Ilang waktu di kereta, pas aku turun tas aku robek dan handphone aku udah gak ada"
"Yaampun Frey, Tapi kamu gak apa-apa kan?"
"Gapapa kok"
Kami berbincang seputar kehidupan yang terjadi belakangan ini, sampai akhirnya ia memulai untuk mengingat kembali apa-apa yang pernah kita lalui.
"Frapuccino matcha latte?" tunjuknya
"Iya"
"Masih suka matcha yaa"
"Masih dong"
"Frey, aku minta maaf"
"Maaf untuk?"
"Semuanya, Maaf untuk waktu itu. Rasanya aku begitu jahat sama kamu Frey"
"Yaudahlah semuanya udah lewat juga"
"Aku nyesel Frey. Memang, dulu aku suka kesel sama kamu yang bosenin, bawel, ngambekan, cemburuan, tapi aku tau kamu kayak gitu karena kamu sayang sama aku, aku bego udah sia-siain kamu Frey"
"Kenapa nyesel? bukannya kamu udah dapet apa yang kamu mau? Cewek impian kamu"
"Persetan sama fisik Frey. Kamu tau? ternyata aku cuma pilihan diantara lelaki yang dia miliki, Dia cuma manfaatin aku karena dia tau aku punya bisnis. Dan kamu tau? Dia selalu minta diantar pake mobil, dan selalu makan di restoran. Dia gak pernah mau aku ajak ke tempat nasi uduk favorit kita, Dia juga gak pernah dukung hobi aku Frey. Fisik dia emang sempurna, tapi dia gak lebih dari sampah yang mengaku dirinya gak punya pacar padahal punya"
"Kamu berharap apa dari obrolan kita ini?"
"Aku pikir aku masih harus beresin urusan kita yang belum kelar"
"Semuanya udah kelar, Kamu kan yang kelarin semuanya"
"Iya maaf Frey, aku dulu bego banget"
"Fase ini, semua yang kamu lewatin, pegang erat masa lalu dan penasaran sama apa yang terjadi. Semua itu aku udah lewat"
"Gak ada kesempatan?"
"Kamu lupa? dulu kamu bilang hubungan kita udah gak bisa diperbaiki lagi, terus kenapa sekarang kamu minta kesempatan?"
"Iya aku mau perbaiki semuanya, kita mulai dari awal ya Frey"
"Gak bisa Wira"
"Dulu aku labil Frey, Sekarang aku udah lebih dewasa, bijak. Semua tentang waktu. Kalau waktu mempertemukan kita sekarang, kita pasti jadian dan awet"
"Waktu gak berperan banyak, Kalau kita emang benar untuk satu sama lain dulu, kita gak mungkin putus"
Aku memang paling bisa membaca pikiranmu, Wir. Aku tau saat ini kau sedang kacau dan tak ada lagi tempat untuk sekedar berbagi dan berkeluh kesah. Seperti yang kau lakukan dulu. Dulu, kau selalu bercerita tentang kalutnya suasana rumah yang dipenuhi oleh amarah dan itu sebab kenapa kau jarang dirumah dan lebih memilih tempat tongkrongan.
Rasanya aku ingin memelukmu dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi semua terasa kaku.
"Everything will be alright" ucapku untuk menenangkan
"Aku sekalian pamit ya, udah reda juga"
"Kamu mau pulang? Aku antar yaa"
"Gak usah, aku  mau ketemu sama orang"
"Siapa? Pacar kamu?"
Aku tersenyum tanpa menjawab "Byee Wira"

                                                        ****
Aku hampir goyah ketika kau meminta kesempatan memperbaiki, tapi rasanya sudah cukup. Lukanya cukup. Aku sudah siap dengan kehidupanku yang sekarang, menerima orang baru yang sedang berusaha hadir. Karena yang terberat bukan melupakan, tetapi merelakan. Dan sekarang, aku sudah bisa merelakanmu dan berdamai dengan masa lalu.



2 komentar: